PERNYATAAN HUKUM

PERNYATAAN HUKUM

PERNYATAAN HUKUM

DPP LBH PELITA UMAT

Nomor 02/PH/DPP/IV/2021

Tentang

HENTIKAN KEZALIMAN TERHADAP HABIB RIZIEQ SHIHAB

Habib Rizieq Shihab (HRS) didakwa pasal berlapis terkait kasus kerumunan di acara Maulid Nabi Muhammad SAW dan pernikahan putrinya di Petamburan, Jakarta Pusat, pada 14 November 2020. Habib Rizieq dijerat diantaranya dengan Pasal 93 Undang-undang Nomor 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Pasal tersebut memuat pidana penjara paling lama 1 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100 juta. Jaksa juga mendakwa Pasal 14 ayat 1 UU Nomor 4 tahun 1984 tentang wabah penyakit menular terkait kasus kerumunan Petamburan. Pasal itu turut memuat pidana penjara paling lama 1 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100 juta. Kemudian didakwa dengan Pasal 82A ayat (1) jo 59 ayat (3) huruf c dan d UU nomor 16 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Pasal tersebut memuat ketentuan pidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama satu tahun.

Berkaitan dengan hal tersebut diatas, DPP LBH PELITA UMAT memberikan pernyataan hukum sebagai berikut:

PERTAMA, Bahwa proses hukum terhadap HRS terkait kerumunan di acara Maulid Nabi Muhammad SAW dan pernikahan putrinya di Petamburan adalah dinilai oleh masyarakat sebagai kezaliman. Hal ini berdasarkan fakta dan peristiwa yang serupa tetapi tidak diperlakukan yang sama yaitu diproses hukum misalnya kerumanan kampanye Pilkada, pernikahan berbagai kalangan, termasuk terdapat dugaan kuat terjadi kerumunan ketika Presiden Jokowi melakukan kunjungan kerja. Semestinya berdasarkan prinsip equality before the law adalah prinsip yang memastikan kedudukan seluruh penduduk dalam suatu negara termasuk pejabat negara memiliki kedudukan hukum yang sama dan diperlakukan sama. Perbedaan dalam penegakan hukum adalah kezaliman dan dikhawatirkan akan menimbulkan ketidakpercayaan dan pembangkangan publik. Sedangkan zalim adalah perbuatan dosa;

KEDUA, Bahwa dalam proses hukum terkadang terjadi perselingkuhan hukum dan politik. Perselingkuhan tersebut terjadi dikarenakan 2 (dua) hal yaitu pertama Intervensi penguasa. Konfigurasi kekuasaan atau politik yang terjadi terhadap perkembangan karakter produk hukum di indonesia telah mengalami dominasi yang sangat kental, sehingga konsentrasi energi hukum selalu kalah kuat dibanding energi politik atau kekuasaan. Kentalnya konfigurasi politik terhadap perkembangan hukum telah mendegradasi penegakan hukum. Kedua, Oknum Penegak Hukum. Intervensi penguasa sebetulnya tidak akan berjalan baik apabila tidak terdapat oknum penegak hukum yang dengan sengaja dan sukarela mendekat kepada penguasa, tentu dengan beragam alasan. Sehingga ‘perselingkuhan’ ini menjadi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) oleh pemegang kekuasaan dengan mengatasnamakan hukum. Untuk menilai apakah proses hukum terhadap HRS ini bermuatan politik atau tidak, tinggal dilihat saja apakah pihak lain yang melakukan hal serupa diproses hukum;

KETIGA, Bahwa negara dan kekuasaan adalah dua sisi mata mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Kemana negara akan berlayar tergantung siapa yang memegang kekuasaan. Mengamati dinamika hukum dinegara tercinta, kondisi negara tampak sedang dalam keadaan “darurat hukum”. Kami menyeru kepada seluruh warga negara perlu untuk segera dan serta merta diambil tindakan kongkrit menyelamatkan negara dari upaya oknum dan sekelompok individu yang hendak menyalahgunakan wewenang dan kekuasaan untuk merealisir tujuan politik dan kepentingannya. Bahwa keadaan ini dapat merongrong kedaulatan hukum berada dibawah kendali kekuasaan. Dikhawatirkan Negara bergeser dari recht staat (negara hukum) menjadi macht staat (negara kekuasaan);

KEEMPAT, Bahwa dalam hal adanya suatu ajakan atau undangan untuk menghadiri acara Maulid Nabi Muhammad SAW yang didalamnya terdapat acara pernikahan, maka pada prinsipnya acara tersebut bukan termasuk perbuatan yang tercela. Menjadikan acara Maulid Nabi Muhammad SAW dan/atau pernikahan sebagai peristiwa pidana adalah hal yang tidak mungkin, walaupun di masa pandemi Covid-19.

Dikatakan demikian oleh karena acara a quo merupakan bagian dari ibadah agama dan terkait dengan penjaminan Hak Asasi Manusia yang tidak dapat dikurangi dalam bentuk apa pun. Dengan demikian memformulasikan unsur kesalahan harus dihubungkan dengan sifat melawan hukum suatu perbuatan dan oleh karenanya perbuatan tersebut dicelakan kepada pelaku. Pada perkara yang ‘menjerat’ HRS terkait dengan ajakan menghadiri Maulid Nabi Muhammad SAW dan sekaligus pernikahan putrinya semestinya tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana. Berkerumunannya orang dalam acara Maulid Nabi Muhammad SAW dalam masa pandemi Covid-19 bukanlah termasuk perbuatan tercela. Tegasnya tidak ada sifat tercela dari acara dimaksud dan oleh karena itu tidak ada sama sekali kesalahannya. Terlebih lagi tidak ada Fatwa MUI yang menyebutkan larangan (keharaman) peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di masa pandemi Covid-19. Tidak ada penggunaan pikiran secara salah dalam ajakan menghadiri acara dimaksud. Dengan kata lain tidak ada kesengajaan untuk melakukan perbuatan terlarang, sebab acara tersebut bukan perbuatan tercela yang dilarang oleh hukum;

KELIMA, Bahwa mengutip pernyataan Kuasa Hukum HRS di media, Munarman SH menyatakan pihaknya menemukan banyak keganjilan dalam dakwaan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum alias JPU. Salah satunya adalah dakwaan penghapusan hak politik HRS, sedangkan persidangan itu mengenai pelanggaran protokol kesehatan dan kerumunan di Petamburan. Apabila hal ini benar, kami patut menduga terdapat motif politik tertentu untuk membungkam HRS dalam kasus ini. Dan tentu ini merupakan kezaliman;

KEENAM, Bahwa kami mendorong agar kriminalisasi terhadap HRS, alim ulama, ustadz, aktivis dakwah dan aktivis-aktivis kritis lainnya (Ali Baharsyah, Gus Nur, Syahganda Nainggolan, Habib Bahar dll) untuk dihentikan.

Demikian

Wallahualam bishawab

Jakarta, 18 April 2021

Chandra Purna Irawan,S.H.,M.H.

(Ketua)

Panca Putra Kurniawan, S.H.,M.Si

(Sekertaris Jenderal)

PERNYATAAN HUKUM

PERNYATAAN HUKUM

PERNYATAAN HUKUM

LEMBAGA BANTUAN HUKUM

PELITA UMAT

Nomor 03/PH/DPP/LBH PELITA UMAT/04/2021

Tentang

HENTIKAN KRIMINALISASI AJARAN ISLAM DAN AKTIVISNYA

Tim Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti Teror Polri menyatakan menyita sejumlah buku bertema jihad saat menangkap Munarman di rumahnya di kawasan Pamulang, Tangerang Selatan.

Berkaitan dengan hal tersebut diatas, DPP LBH PELITA UMAT memberikan pernyataan hukum sebagai berikut:

PERTAMA, Bahwa penangkapan yang dilakukan oleh Kepolisian Republik Indonesia (in casu Densus 88 Antiteror) tidak sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang mensyaratkan bahwa penangkapan harus didahului dengan penetapan status tersangka. Penetapan status tersangka juga harus berdasarkan kekuatan 2 (dua) alat bukti minimal dan disertai dengan pemeriksaan calon tersangkanya sebagaimana dimaksudkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, tanggal 28 April 2015. Dengan demikian penangkapan tersebut bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014.

KEDUA, Bahwa oleh karena belum pernah dilakukan pemeriksaan pendahuluan (in casu calon tersangka), maka penangkapan tersebut juga dipandang sebagai tindakan yang bertentangan dengan Hak Asasi Manusia sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang pada intinya tidak mendapatkan atau tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.

KETIGA, Bahwa kami protes keras terhadap penyitaan sejumlah buku yang bertema jihad, terlebih lagi kemudian dipublikasikan ke media dan publik. Hal ini dikhawatirkan berpotensi terjadi kriminalisasi terhadap istilah dan ajaran Islam yaitu jihad. Istilah jihad banyak dijelaskan didalam Al-Qur’an dan hadits;

KEEMPAT, Bahwa kami mendorong agar proses penegakan hukum dipisahkan dari politik. Kami berpendapat bahwa menyita buku-buku bertema jihad dan menampilkan kehadapan media dan publik adalah tampak seperti tindakan politik. Apa hubungannya antara tindakan pidana dengan buku tersebut. Kami patut menduga sedang ada upaya membangun narasi “buku-buku jihad inspirator teroris”, sehingga berujung pada stigmatisasi-alienasi istilah jihad;

KELIMA, bahwa adanya kriminalisasi dan ‘monsterisasi’ Jihad, membuat orang takut terhadap sesuatu yang seharusnya tidak ditakutkan. Dikhawatirkan terjadi kecenderungan tidak akan berani menjelaskan terkait Jihad Sebab ketika membahas seolah-olah seorang penjahat atau teroris dan dituduh orang yang cenderung akan berpikiran ISIS;

KEENAM, Bahwa kami menyeru kepada para praktisi hukum, akademisi dan ahli hukum untuk turut serta melakukan pembelaan terhadap segala potensi kriminalisasi ajaran Islam dan aktivisnya.

Demikian pernyataan hukum disampaikan

Jakarta, 30 April 2021

Chandra Purna Irawan SH MH

(Ketua)

Panca Putra Kurniawan SH MSi

(Sekretaris Jenderal)

PERNYATAAN HUKUM 8/DPP LBH PELITA UMAT/XII/2020

PERNYATAAN HUKUM 8/DPP LBH PELITA UMAT/XII/2020

PERNYATAAN HUKUM LEMBAGA BANTUAN HUKUM PEMBELA ISLAM TERPECAYA-UMAT (LBH PELITA UMAT) 
Nomor : 8/DPP LBH PELITA UMAT/XII/2020 
Tentang

MENINGGALNYA 6 (ENAM) ORANG PENGAWAL HABIB RIZIEQ SHIHAB 


Mengutip pernyataan Sekretaris Umum Front Pembela Islam (FPI) Munarman menyebut insiden enam orang pengawal Habib Rizieq Shihab meninggal merupakan pembantaian atau extra judicial killing. Berkaitan dengan hal tersebut diatas, kami akan memberikan pendapat hukum sebagai berikut: 

PERTAMA, Bahwa apabila terdapat pelanggaran hukum yang dilakukan oleh 6 (enam) orang korban tersebut, seharusnya dapat diproses sebagaimana ketentuan pidana yang belaku. Proses hukum tersebut merupakan cerminan dari asas praduga tak bersalah dan memberikan kesempatan bagi pihak yang dituduh untuk melakukan pembelaan secara adil dan berimbang (due process of law) dan bahwa aparat dibolehkan untuk menggunakan kekuatan atau kekerasan, terutama dengan senjata api, sebagai upaya terakhir. Itu pun harus merupakan situasi luar biasa untuk melindungi keselamatan dirinya dan atau orang lain, misalnya celurit atau pedang hampir menghunus anggota badan. Apabila kondisi hal demikian tidak terjadi, maka dapat dinilai sebagai tindakan tanpa hukum atau extra judicial killing;

KEDUA, Bahwa apabila indikasi Extra judicial killing terjadi, maka merupakan suatu pelanggaran hak hidup seseorang yang telah dijamin oleh UUD 1945 dan UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia seperti hak hidup dan hak atas pengadilan yang adil hal itu merupakan hak asasi yang tidak dapat dikurangi apapun keadaannya;

KETIGA, Bahwa Perkara ini telah menjadi perhatian publik, agar diperoleh keadilan publik maka perlu KOMNAS HAM RI segera membentuk tim independen pencari fakta dan harus transparan mengungkap kejadian tersebut, terutama menyingkap penyebab terjadinya penembakan. Jika aparat yang dilapangan dan/atau memberikan perintah yang terlibat dalam insiden itu melanggar protokol tentang penggunaan kekuatan dan senjata api, mereka harus diungkap secara terbuka dan diadili sesuai dengan hukum. 

Wallahu alam bishawab
Jakarta 8 Desember 2020. 

CHANDRA PURNA IRAWAN SH MHKetua 
PANCA PUTRA KURNIAWAN SH MSi Sekretaris Jenderal